Sabtu, 11 Mei 2024

Cemburu itu Indah


Oleh : Darno

“Bukankah hidup ini sangat singkat, berbakti kepada orang tua adalah tanggung jawab saya, apalagi Ibu sudah tua”, ingatannya berkecamuk lagi lalu bergelayut di antara cabang dan ranting pohon. Ia menarik napas dalam-dalam dan melonjorkan kakinya. Saat itu, ia sedang bersandar di sebuah pohon mangga besar. Ia baru saja beristirahat dari lelahnya bekerja mengurusi ladang sayuran. Hatinya redup-redam lalu berdamai kembali di bawah pohon tempat ia berteduh. 

“Daeng, apakah kamu tidak takut lewat jalan itu?”, tanya sang istri dengan wajah yang menyeringai. “Ah…sudahlah, aku dari kecil lewat jalan itu bersama ayahku,  tidak perlu kamu khawatir ,” jawab Ahmad memutus lalu lintas perdebatan tadi malam bersama istrinya.

              Pertanyaan ini telah berulang sebanyak sembilan ratus sembilan puluh sembilan kali. Malam itu genap menjadi pertanyaan yang ke seribu kalinya. Ia mencari jalan terbaik agar bisa menunaikan baktinya kepada orang tua. Ibunya tidak mau meninggalkan kampungnya. Padahal ia telah berusaha dengan segala cara membujuk ibunya tapi tidak kunjung berhasil.

              “Ibumu ini kan sudah tua nak, tidak mungkin meninggalkan rumah peninggalan ayahmu. Di sini banyak kenangan yang tidak bisa saya lupakan dengan ayahmu nak,” tukas sang Ibu pada Ahmad. Sementara ia juga memiliki tanggung jawab kepada keluarganya. Segelas kopi di sampingnya telah lama menunggu giliran. Ia pun menseruputnya perlahan sampai habis.

              Istri Ahmad selalu mengkhawatirkan keadaan suaminya karena setiap malam pergi ke kampung sebelah. Sementara Ahmad meninggalkan istri dan tiga orang anaknya di rumah. Tak jauh dari rumah mereka, sebuah pusara tak bernama. Batu yang dahulunya mengelilingi kuburan itu, tersebar tak beraturan di atas tanah. Rumah yang ditempati keluarga Ahmad adalah rumah peninggalan mertuanya. Rumah yang sederhana dan jauh dari kata mewah. Ternyata sebelum Ahmad menikahi istrinya, istrinya adalah seorang anak yatim. Meskipun begitu, Ahmad adalah suami yang bertanggung jawab. Ia selalu memenuhi kebutuhan keluarganya bekerja dengan giat.

              Tanpa sadar hari telah sore, Ahmad segera balik ke rumah. Butiran keringatnya kini telah mongering dan menimbulkan bau yang cukup tajam. Bau keringat seperti itu sudah biasa bagi seorang petani. Setibanya di rumah ia langsung bergegas ke kamar mandi. Selepas shalat magrib dan makan malam, ia berpamitan dengan istrinya dan berjanji akan kembali esok pagi. 

              Ahmad berjalan kaki dari kampung istrinya menuju kampung ibunya karena kendaraan masih jarang. Jalan bebatuan tak beraspal. Suara jangkrik terdengar nyaring di malam itu. Dedaunan kering berjatuhan ditiup angin. Perlahan bulan mulai menampakkan wajahnya. Ia baru saja keluar dari persembunyiannya karena tertutup awan.

Malam itu adalah bulan purnama. Di pinggir jalan terdapat pohon-pohon besar menjulang tinggi. Sesekali terdengar kepakan sayap kelelawar di antara pepohonan memecah keheningan malam. Suara burung hantu seakan berlibur malam itu. Mungkin saja, burung-burung itu telah kenyang sehingga mereka enggan mengeluarkan bunyi.

              Ahmad berjalan tanpa rasa takut sama sekali. Sebilah parang tajam di pinggangnya terselip rapih. Ia berjalan mirip seorang pendekar silat. Untuk sampai ke kampung ibunya, ia harus melewati jalan berbatu tak beraspal ini. Lagi pula hutannya sangat lebat. Tak ada akses lain. Jalan yang berbatu ini seringkali menjadi sarang bagi para begal di malam hari.

              Tiba-tiba Ahmad melihat kobaran api dari kejauhan. Ia berpikir itu api biasa. “Mungkin saja ada petani yang sedang bekerja di malam hari, pikirnya dalam hati. Tanpa rasa takut, ia terus berjalan menuju ke arah kobaran api tersebut. Di sebelah kiri jalan ada sebuah tempat yang tak ditumbuhi rumput. Ia semakin dekat dan terus semakin dekat. Hatinya mulai bimbang ia bersiap mengeluarkan golok di pinggangnya.

              Apa ini?,” ucapnya lirih.“Siapa kamu ?”, tanya Ahmad dengan suara keras kepada kedua perempuan itu dari arah belakang.  Keduanya terdiam tak menghiraukan Ahmad. Terdengar dari keduanya mengucapkan mantra-mantra yang tidak dapat dimengerti Ahmad. Lalu Ahmad berjalan ke arah depan, nampaklah dua orang wanita menyembah ke arah bulan dengan mata yang terbelalak. Rambutnya berdiri tegak lurus.

              Dengan sigap, ia memegang kedua rambut perempuan itu lalu keduanya pun tersadar. Keduanya pun menceritakan peristiwa yang baru saja di alaminya. Ternyata mereka berdua melakukannya tanpa sadar setiap kali muncul bulan purnama. Mereka berdua meminta kepada Ahmad agar tidak menceritakan kejadian malam itu kepada siapa pun. Ahmad pun berjanji tidak akan menceritakannya. Ia pun meninggalkan mereka berdua dan Ahmad melanjutkan perjalanan ke kampung Ibunya.

              Semenjak peristiwa yang dialami Ahmad malam itu, hubungan mereka semakin akrab layaknya keluarga sehingga hal itu menimbulkan kecurigaan orang-orang di kampung ibunya.

              “Itu tuh, si Ahmad selingkuh sama Wati?”, kata Nora kepada Sintia

“Hus !!! jangan su’uzhon kamu Nor!”, bantah Sintia sambil berhenti sejenak. “Apa kamu tidak lihat si Ahmad setiap kali datang ke rumah ibunya pasti singgah dulu di rumah wati,” bantah Nora.

              Mereka pun saling menimpali dan disambut riuh oleh yang lain. Pembicaraan itu menjadi sebuah trending topik di pagi itu. Suara mereka riuh seperti ayam betina yang baru saja bertelur. Potongan berita itu akhirnya sampai ke telinga istri Ahmad. Istri Ahmad pun terbakar api cemburu. Cemburu adalah lambang dari rasa cinta begitulah yang dialami istri Ahmad.

              “Apa ini benar Daeng kamu punya hubungan dengan wanita lain?”, tanya istrinya. “Apa yang kamu maksud? Kenapa kamu bertanya seperti itu?”, Ahmad bertanya balik kepada istrinya. “Jangan bohong Daeng, Aku mendengarnya dari orang-orang kampung,” kata istrinya dengan terisak. “Ah… sudahlah, itu, kan kata orang-orang kampung, mana buktinya kalau saya selingkuh?”, sanggah Ahmad dengan nada meyakinkan kalau dia tidak pernah selingkuh.

              Semakin lama istri Ahmad semakin menjadi-jadi. Ia terhasud orang-orang kampung yang tak bertanggung jawab. Istri Ahmad lalu memutuskan untuk pergi ke kampung ibu mertuanya. Ia ingin memastikan bahwa selama ini suaminya telah berbohong perihal selingkuhannya dengan si Wati janda cantik.

              “Aku sudah tahu maksud kedatanganmu, nak”, kata ibu mertuanya. Istri Ahmad terperanjat bukan main. “Kok, ibu tau maksud kedatangan saya ke sini?” katanya dalam hati. “Soal si Wati, kamu jangan berprasangka buruk, dia itu orang yang baik. Kebaikannya telah membuat perempuan-perempuan kampung yang lain cemburu. Maklum mereka itu, perawan tua yang tidak laku-laku”, lanjut ibu mertuanya dengan senyum keriputnya. “Iyah, Mak…maaf kalau selama ini aku salah menilai Ahmad, ternyata dia adalah suami yang terbaik. Yaa Allah ampuni hambamu,”. Istri Ahmad pun menangis dan menyesali perbuatannya. “Pulanglah,... suamimu sudah menunggumu di rumah, ingatlah,,, bahwa tidak ada rumah tangga yang tidak punya masalah. kecuali kalau suamimu menikah sama tiang listrik,” kata Ibu mertuanya dengan nada bercanda. (cerpen ini diangkat dari kisah nyata dengan sedikit pengubahan)

 

 

 

              Darno, dilahirkan di desa Kalumbatan, Kabupaten Banggai Kepulauan,  Sulawesi  Tengah  pada tanggal 5 Agustus  1984 dari pasangan Ibu Sumiati H. Pama  dan Bapak Muhammad Latif. Mulai menulis sejak mengikuti pelatihan belajar menulis KBMN PGRI Gelombang 27 Tim Solid Omjay. Saat ini sedang menulis sebuah buku perjalanan dalam mengikuti Pendidikan guru penggerak Angkatan 9.  Email :darnolatif@gmail.com , Facebook : SMP N U P. Morotai, Youtube : Daloha Edukasi.

 

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar