“Bukankah hidup
ini sangat singkat, berbakti kepada orang tua adalah tanggung jawab saya,
apalagi Ibu sudah tua”, ingatannya
berkecamuk lagi lalu bergelayut di antara cabang dan ranting pohon. Ia menarik
napas dalam-dalam dan melonjorkan kakinya. Saat itu, ia sedang bersandar di
sebuah pohon mangga besar. Ia baru saja beristirahat dari lelahnya bekerja
mengurusi ladang sayuran. Hatinya redup-redam lalu berdamai kembali di bawah
pohon tempat ia berteduh.
“Daeng, apakah
kamu tidak takut lewat jalan itu?”, tanya sang
istri dengan wajah yang menyeringai. “Ah…sudahlah, aku dari kecil lewat
jalan itu bersama ayahku, tidak
perlu kamu khawatir ,” jawab Ahmad memutus lalu lintas perdebatan
tadi malam bersama istrinya.
Pertanyaan ini telah berulang
sebanyak sembilan ratus sembilan puluh sembilan kali. Malam itu genap menjadi
pertanyaan yang ke seribu kalinya. Ia mencari jalan terbaik agar bisa
menunaikan baktinya kepada orang tua. Ibunya tidak mau meninggalkan kampungnya.
Padahal ia telah berusaha dengan segala cara membujuk ibunya tapi tidak kunjung
berhasil.
“Ibumu ini kan sudah tua nak,
tidak mungkin meninggalkan rumah peninggalan ayahmu. Di sini banyak kenangan
yang tidak bisa saya lupakan dengan ayahmu nak,” tukas sang Ibu pada Ahmad. Sementara ia juga memiliki tanggung
jawab kepada keluarganya. Segelas kopi di sampingnya telah lama menunggu
giliran. Ia pun menseruputnya perlahan sampai habis.
Istri Ahmad selalu mengkhawatirkan
keadaan suaminya karena setiap malam pergi ke kampung sebelah. Sementara Ahmad
meninggalkan istri dan tiga orang anaknya di rumah. Tak jauh dari rumah mereka,
sebuah pusara tak bernama. Batu yang dahulunya mengelilingi kuburan itu,
tersebar tak beraturan di atas tanah. Rumah yang ditempati keluarga Ahmad adalah
rumah peninggalan mertuanya. Rumah yang sederhana dan jauh dari kata mewah. Ternyata
sebelum Ahmad menikahi istrinya, istrinya adalah seorang anak yatim. Meskipun begitu,
Ahmad adalah suami yang bertanggung jawab. Ia selalu memenuhi kebutuhan
keluarganya bekerja dengan giat.
Tanpa sadar hari telah sore, Ahmad
segera balik ke rumah. Butiran keringatnya kini telah mongering dan menimbulkan
bau yang cukup tajam. Bau keringat seperti itu sudah biasa bagi seorang petani.
Setibanya di rumah ia langsung bergegas ke kamar mandi. Selepas shalat magrib
dan makan malam, ia berpamitan dengan istrinya dan berjanji akan kembali esok
pagi.
Ahmad berjalan kaki dari kampung
istrinya menuju kampung ibunya karena kendaraan masih jarang. Jalan bebatuan
tak beraspal. Suara jangkrik terdengar nyaring di malam itu. Dedaunan kering
berjatuhan ditiup angin. Perlahan bulan mulai menampakkan wajahnya. Ia baru
saja keluar dari persembunyiannya karena tertutup awan.
Malam itu adalah bulan purnama. Di pinggir jalan terdapat
pohon-pohon besar menjulang tinggi. Sesekali terdengar kepakan sayap kelelawar
di antara pepohonan memecah keheningan malam. Suara burung hantu seakan
berlibur malam itu. Mungkin saja, burung-burung itu telah kenyang sehingga
mereka enggan mengeluarkan bunyi.
Ahmad berjalan tanpa rasa takut
sama sekali. Sebilah parang tajam di pinggangnya terselip rapih. Ia berjalan
mirip seorang pendekar silat. Untuk sampai ke kampung ibunya, ia harus melewati
jalan berbatu tak beraspal ini. Lagi pula hutannya sangat lebat. Tak ada akses
lain. Jalan yang berbatu ini seringkali menjadi sarang bagi para begal di malam
hari.
Tiba-tiba Ahmad melihat kobaran
api dari kejauhan. Ia berpikir itu api biasa. “Mungkin saja ada petani yang
sedang bekerja di malam hari, pikirnya dalam hati. Tanpa rasa takut, ia
terus berjalan menuju ke arah kobaran api tersebut. Di sebelah kiri jalan ada
sebuah tempat yang tak ditumbuhi rumput. Ia semakin dekat dan terus semakin
dekat. Hatinya mulai bimbang ia bersiap mengeluarkan golok di pinggangnya. “
Apa ini?,” ucapnya lirih.“Siapa kamu ?”, tanya Ahmad dengan suara
keras kepada kedua perempuan itu dari arah belakang. Keduanya terdiam tak menghiraukan Ahmad.
Terdengar dari keduanya mengucapkan mantra-mantra yang tidak dapat dimengerti
Ahmad. Lalu Ahmad berjalan ke arah depan, nampaklah dua orang wanita menyembah
ke arah bulan dengan mata yang terbelalak. Rambutnya berdiri tegak lurus.
Dengan sigap, ia memegang kedua
rambut perempuan itu lalu keduanya pun tersadar. Keduanya pun menceritakan
peristiwa yang baru saja di alaminya. Ternyata mereka berdua melakukannya tanpa
sadar setiap kali muncul bulan purnama. Mereka berdua meminta kepada Ahmad agar
tidak menceritakan kejadian malam itu kepada siapa pun. Ahmad pun berjanji
tidak akan menceritakannya. Ia pun meninggalkan mereka berdua dan Ahmad
melanjutkan perjalanan ke kampung Ibunya.
Semenjak peristiwa yang dialami
Ahmad malam itu, hubungan mereka semakin akrab layaknya keluarga sehingga hal itu
menimbulkan kecurigaan orang-orang di kampung ibunya.
“Itu tuh, si Ahmad selingkuh
sama Wati?”, kata Nora kepada Sintia
“Hus !!! jangan
su’uzhon kamu Nor!”, bantah Sintia sambil berhenti
sejenak. “Apa kamu tidak lihat si Ahmad setiap kali datang ke rumah ibunya
pasti singgah dulu di rumah wati,” bantah Nora.
Mereka pun saling menimpali dan
disambut riuh oleh yang lain. Pembicaraan itu menjadi sebuah trending topik di
pagi itu. Suara mereka riuh seperti ayam betina yang baru saja bertelur.
Potongan berita itu akhirnya sampai ke telinga istri Ahmad. Istri Ahmad pun
terbakar api cemburu. Cemburu adalah lambang dari rasa cinta begitulah yang
dialami istri Ahmad.
“Apa ini benar Daeng kamu punya
hubungan dengan wanita lain?”, tanya istrinya.
“Apa yang kamu maksud? Kenapa kamu bertanya seperti itu?”, Ahmad
bertanya balik kepada istrinya. “Jangan bohong Daeng, Aku mendengarnya dari
orang-orang kampung,” kata istrinya dengan terisak. “Ah… sudahlah, itu,
kan kata orang-orang kampung, mana buktinya kalau saya selingkuh?”, sanggah
Ahmad dengan nada meyakinkan kalau dia tidak pernah selingkuh.
Semakin lama istri Ahmad semakin
menjadi-jadi. Ia terhasud orang-orang kampung yang tak bertanggung jawab. Istri
Ahmad lalu memutuskan untuk pergi ke kampung ibu mertuanya. Ia ingin memastikan
bahwa selama ini suaminya telah berbohong perihal selingkuhannya dengan si Wati
janda cantik.
“Aku sudah tahu maksud
kedatanganmu, nak”, kata ibu mertuanya. Istri Ahmad terperanjat
bukan main. “Kok, ibu tau maksud kedatangan saya ke sini?” katanya dalam
hati. “Soal si Wati, kamu jangan berprasangka buruk, dia itu orang yang
baik. Kebaikannya telah membuat perempuan-perempuan kampung yang lain cemburu.
Maklum mereka itu, perawan tua yang tidak laku-laku”, lanjut ibu mertuanya
dengan senyum keriputnya. “Iyah, Mak…maaf kalau selama ini aku salah menilai
Ahmad, ternyata dia adalah suami yang terbaik. Yaa Allah ampuni hambamu,”. Istri
Ahmad pun menangis dan menyesali perbuatannya. “Pulanglah,... suamimu sudah menunggumu
di rumah, ingatlah,,, bahwa tidak ada rumah tangga yang tidak punya masalah. kecuali
kalau suamimu menikah sama tiang listrik,” kata Ibu mertuanya dengan nada
bercanda. (cerpen ini diangkat dari kisah nyata dengan sedikit pengubahan)
Darno, dilahirkan di desa Kalumbatan, Kabupaten Banggai Kepulauan, Sulawesi
Tengah pada tanggal 5
Agustus 1984 dari pasangan Ibu Sumiati
H. Pama dan Bapak Muhammad Latif. Mulai
menulis sejak mengikuti pelatihan belajar menulis KBMN PGRI Gelombang 27 Tim
Solid Omjay. Saat ini sedang menulis sebuah buku perjalanan dalam mengikuti
Pendidikan guru penggerak Angkatan 9. Email :darnolatif@gmail.com , Facebook : SMP N
U P. Morotai, Youtube : Daloha Edukasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar